Beredar banyak stereotip mengenai orang-orang Tegal. Ada yang
menganggap mereka sebagai komunitas lucu. Sebab, mereka menggunakan
bahasa Jawa Tegalan yang ngapak. Ada pula yang menganggap warga Tegal
sebagai komunitas yang giat bekerja, berjiwa wirausaha tinggi.
Namun, semua setereotip itu hanyalah anggapan umum yang tidak akurat.
Stereotip biasanya dilahirkan orang luar atas hasil pengamatan yang
sekilas. Stereotipe hanya jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara
intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang kompleks
menjadi sederhana.
Hal yang justru tidak banyak dilihat dari orang Tegal adalah
kejujurannya. latar belakang historis mereka sebagai warga pesisir,
mengukuhkan mereka sebagai orang yang memiliki watak kolektif dapat
dipercaya. Inilah 10 alasannya.
1. Blakasuta
Orang Tegal, sebagaimana orang Banyumas dan Brebes, menggunakan
bahasa blakasuta. Blakasuta berarti berbahasa dengan lugas dan tanpa
basa-basi. Orang Tegal senang mengutarakan isi hati apa adanya.
Pilihan bahasa yang cablaka memang membuat bahasa Tegal tampak kasar.
Namun, baiknya adalah, mereka bukan orang yang gampang bohong. Mereka
berupaya menjaga khormatan dirinya dengn berupaya jujur.
Sifat ini penting dipertahaankan ketika orang jujur justru semakin
jarang. Orang Tegal yakin, kejujuran adalah “mata uang yang berlaku di
mana pun.”
2. Wirausaha
Orang Tegal memiliki jiwa kewirausahaan tinggi. Dua bidang yang
sangat mereka kuasai adalah bidang kuliner dan pembuatan onderdil
kednaraan bermotor. Di bidang kuliner, warga Tegal secara massif telah
menyebarkan warung tegal (warteg) ke seluruh penjuru negeri. Beberapa
pengusaha Tegal bahkan berhasil memperkenalkannya di Australia dan
Amerika.
Kesuksesan para pengusaha, lazimnya, ditopang oleh kombinasi
kejujuran dan kerja keras. Begitu pula dengan warga Tegal. Mereka
memelihara kepercayaan pelanggannya dengan kejujuran.
3. Ekspresif
Bahasa Tegal dikenal sangat ekspresif. Bahasa ini sukup akomodatif
untuk mengungkapkan berbagai perasaan. Ekspresi sedih, gundah, bahagia,
hingga kelakar bisa diungkapkan dengan kosakata tegalan yang bervariasi
itu. Mengenai hal itu, penyair asal Tegal Eko Tunas berpendapat:
“Saking ekspresife bahasa ibu sing siji kiye luwih-luwih sebagai mata
jiwa. Saking blakasutane, bahasa Tegal luwih-luwih biasa ngetokena
uneg-uneg utawa pikiran sajujur-jujure, ora nganggo tedeng aling-aling
apa-apa. Malah watek sing kaya Bima nang wayange kiye bahasa mata jiwa
kuwe nggawa wong Tegal nduwe sifat waninan. Kaya Bima sing dikongkon
njegur segara ya gelem. Nyilem nang dasar laut ya ketemune Dewa Ruci.”
4. Seniman, Artistik
Banyak seniman teater, puisi, hingga film yang lahir di Tegal. Ini
sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri bahwa Tegal adalah lahan
subur kesenian. Bupati Tegal Ki Enthus Susmono, misalnya, adalah dalang
yang sangat kondang. Dia bahkan membawakan wayang dengan gaya baru, yang
menerabas pakem. Di bidang sastra ada penulis Lanang Setiawan yang
banyak memproduksi buku berbahasa Tegal.
Penyair Tegal yang termasuk dalam angkatan 66 adalah Piek Ardijanto
Soeprijadi dan SN Ratmana. Sementara Widjati digolongkan ke dalam
penyair Angkatan ’00’ (Kosong-kosong). Kota Tegal tercatat memiliki dua
tokoh perfilman nasional yang cukup produktif yaitu Imam Tantowi
(sutradara dan penulis skenario), dan Chaerul Umam (sutradara).
Seniman, sebagaimana para ilmuwan dan intelektual, adalah orang-orang
yang mengungkapkan isi hatinya dengan jujur. Hanya saja, mereka
memiliki gaya ungkap yang indah dan estetik.
5. Bersikap Kesatria
Warga Tegal punya sosok idola bernama Adipati Martoloyo. Sosok ini
bahkan dianggap sebagai personifikasi sikap mental kolektif warga Tegal.
Tidak heran kalau warga Tegal juga menjadikan sosok ini sebagai
teladan.
Adipati Martoloyo adalah ksatria yang berani mempertaruhkan jabatan
dan bahkan nyawa demi keyakinannya. Saat Raja Amangkurat II bekerja sama
dengan Belanda, ia bersama adipati lain melakukan perlawanan. Dia marah
dan jijik melihat tingkah laku Belanda yang tidak punya tata krama.
Martoloyo ikut muak melihat atasannya bersahabat dan bekerja sama dengan
kompeni.
Sikap yang paling menonjol dalam diri Adipati Martoloyo adalah
keteguhannya dalam membela keyakinan. Itu terbukti, ketika ia menolak
tunduk kepada Amangkurat II dan memilih mati saat berhadapan dengan
Martopuro.
- Harini Ima Saputri, mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes), bermukim di Tegal
- Share by ArdinmarL