Ditulis oleh Ferandy, 8 Mei 2015
Ada pembagian tugas yang lumrah terjadi di keluarga. Tugas ayah
mencari nafkah, tugas ibu mendidik anak. “Padahal kalau dilihat dari
Al-Quran, figur pendidik itu ayah,” kata Adriano Rusfi dalam pertemuan
Fatherhood Forum I, 24 Januari 2015, menyanggah anggapan umum di
masyarakat ini. “Figur yang terkenal petuahnya dalam pendidikan anak itu
Luqmanul Hakim, seorang lelaki. Saat saya cari lagi figur pendidik anak
lainnya, muncul Nabi Ibrahim Alaihissalaam. Lelaki juga,” lanjutnya.
Ada kesalahpahaman yang cukup fatal dalam mendidik anak ini.
Masyarakat menganggap tugas ayah cukuplah mencari nafkah, dan mendidik
anak itu menjadi tugas ibu. Bahkan ada juga anggapan kalau mendidik anak
itu tugas sekolah. Banyak yang menganggap mendidik anak itu tugas
sampingan ayah saja.
Persepsi pembagian tugas seperti ini menimbulkan hal yang buruk bagi
perkembangan anak. Dalam Fatherhood Forum, Adriano Rusfi menjelaskan 4
hal yang terjadi saat ayah tidak mengambil tanggung jawab sebagai tokoh
utama mendidik anak. Apa sajakah itu?
#1 Pendidikan anak jadi tak punya visi
“Pendidikan itu bukan semata-mata mekanisasi, namun sebuah visi. Ibu
tidak bisa mendesain visi,” kata Adriano, “Ibu itu eksekutor, pihak yang
terlibat dalam keseharian mendidik anak.” Sehebat apa pun seorang ibu
menjadi eksekutor dalam mendidik anak, ia akan kesulitan untuk merancang
visi pendidikan anak. Bukan karena tidak punya kemampuan, namun karena
situasinya kerap tidak memungkinkan.
Adriano mengambil analogi konsultan perusahaan. “Mengapa perusahaan
selalu pakai konsultan? Apakah dalam perusahaan tidak ada orang-orang
hebat? Pasti ada orang hebat, tapi mereka memang mengharapkan masukan
dari orang yang tidak terlalu sibuk dalam rutinitas pekerjaan. Pihak ini
bisa jernih melihat permasalahan,” paparnya.
Oleh karena itu, ketika ayah tak hadir memberi visi, pendidikan anak
hanya menjadi mekanisasi dan rutinitas saja. Tidak ada misi, visi,
ataupun strategi. Memberikan misi, visi, dan strategi inilah tugas sang
ayah. Ayahlah yang berkewajiban memutuskan orientasi mau dibawa kemana,
mau jadi apa, dan apa target mendidik anak.
#2: Ibu tak punya tempat curhat
Jika ayah lepas tangan dari kewajiban mendidik anak, beban berat itu
menjadi sepenuhnya ditanggung ibu. Lalu ketika ibu suntuk dengan
berbagai permasalahan anak, dia bisa mengadu pada siapa?
“Kita sama-sama tahu mendidik anak itu melelahkan, bikin suntuk. Coba
tanya pada istri, apa tidak lelah mendidik anak?” kata Adriano
menjelaskan masalah kedua yang muncul saat ayah tidak mendidik anak.
Seorang ibu butuh teman pendamping dalam mendidik anak. Apalagi saat
ibu suntuk dan masalah anak semakin banyak. Ayah dibutuhkan untuk
membantu mencari solusi.
Salah satu anak Adriano yang lain hobi makan sambil baca buku.
Seringkali piring pecah. Istrinya bilang bilang, “Sudahlah daripada
piring pecah terus, lain kali kita beli piring melamin.” Adriano
menimpali bilang, “Jangan, nanti dia tidak terlatih untuk tidak
memecahkan piring. Tolong belikan piring kaca dan tulis nama setiap anak
di belakang piring. Kalau pecah lagi, ga usah dimarahi. Konsekuensinya
tidak bisa makan pakai piring lagi.”
Ternyata setelah dikasih nama piringnya pecah lagi. Adriano tidak
marah. Ia menerapkan consequential learning di rumahnya. Anak belajar
dari konsekuensi tindakan, bukan dari hukuman. Konsekuensi memecahkan
piring adalah anaknya tidak bisa lagi makan pakai piring.
Rupanya sang anak tidak kehilangan akal. Di dekat rumah ada pohon
pisang. Daunnya ia ambil dan jadikan piring. Istri Adriano bilang,
“Rupanya strateginya gagal Bang. Ia masih bisa punya piring dari
daun.” “Tenang, piringnya ceper. Mulai hari ini makanan harus berkuah,”
jawab Adriano.
Sebagai orang tua terkadang kita memang harus adu cerdik dengan anak
supaya tujuan pendidikan bisa tercapai :). Praktis anak tak bisa makan
kuah tanpa piring. Akhirnya dia tabung uang jajannya untuk dibelikan
piring. Sejak saat itu tidak pernah memecahkan piring lagi.
Istri butuh suami untuk hal-hal seperti ini. Jangan berharap banyak
istri akan mengeluarkan ide-ide semacam itu. Istri sudah jenuh dengan
rutinitas. Di sinilah kehadiran figur ayah dibutuhkan. Sebagai teman
curhat yang ikut turun memberi solusi.
#3 Anak tak punya individualitas
“Penelitian Badan Narkotika Nasional menunjukkan bahwa anak-anak yang
tidak dekat dengan ayah 7 kali lipat lebih mudah mengonsumsi narkoba
daripada anak-anak yang dekat dengan ayahnya,” tutur Adriano. Bukan
hanya narkotika, anak-anak yang tumbuh tanpa ayah cenderung punya
masalah kenakalan yang berat, seperti tawuran sampai hamil di luar
nikah.
Mengapa anak yang tumbuh tanpa didikan ayah ini lebih banyak
menghadapi masalah? Penyebabnya anak tidak punya individualitas. “Anak
yang tidak punya individualitas tidak punya ego. Dia tidak punya
keberanian untuk berbeda. Dia tidak punya keberanian untuk menunjukkan,
‘Ini saya. saya memang beda dengan kamu.’ Ayah yang bisa mengajarkan
individualitas,” jelas Adriano.
Seorang ibu punya kecenderungan membangun sosiabilitas anak. Ibu akan
mendidik anak agar mudah diterima masyarakat. Anak yang santun, ramah,
anggun, tidak pernah berantem, dan kompak adalah hasil didikan ibu.
Namun jika ayah tidak ikut mendidik, anak mudah terbawa arus pergaulan
yang buruk.
“Ketika ayah absen dari pendidikan anak, lahirlah anak-anak seperti
sekarang. Anak-anak yang kompromistis. Teman-temannya merokok, dia ikut
merokok. Temannya mengganja, dia ikut. Teman ikut geng, dia ikut. Teman
seks bebas, dia ikut juga. Anak ini tidak berani bilang, ‘No, sorry!
Teman sih teman. Tapi bukan berarti saya harus selalu nurutin kamu,’”
lanjut Adriano.
Karena itulah, saat seorang anak terjebak dalam pergaulan negatif,
yang salah pastilah ayahnya. “Mengapa ayah tak mengajarkan
individualitas? Mengapa ayah tidak mengajarkan untuk berkata tidak?”
kata Adriano retoris. Dalam istilah Ustadz Ajobendri, pengisi Fatherhood
Forum II di bulan Februari 2015, anak-anak seperti itu diistilahkan
“Amar Ma’ruf Nyambi Munkar”
#4 Anak terlambat dewasa
“Dulu Bung Karno pernah sebut, ‘Beri aku 10 pemuda, akan aku guncang
dunia.’ Bukan seperti sekarang ini,’Berikan aku satu saja remaja, pusing
aku dibuatnya,’” kata Adriano.
Dalam membesarkan anak, salah satu tugas orang tua adalah menjadikan
mereka akil baligh. Akil adalah dewasa secara pemikiran. Parameter akil
diantaranya mandiri, mampu membuat keputusan sendiri, mampu mengambil
tanggung jawab, dan mampu mencari nafkah sendiri. Sedangkan parameter
baligh adalah sehat jasmani. Sehat ini ditunjukkan dengan mampu
bereproduksi, dengan tanda mimpi basah pada laki-laki dan menstruasi
pada perempuan.
Menjadikan anak baligh adalah tugas seorang ibu, sedangkan menjadikan
akil adalah tugas ayah. Dulu, anak mencapai fase akil berbarengan
dengan fase baligh, yakni usia 12-15 tahun. Namun kini anak baligh lebih
cepat namun akilnya sangat lambat. Untuk menjadikan anak akil,
dibutuhkan ketegaan untuk menjadikan anak dewasa secara akil.
Seorang ibu tak akan tega membuat anak dewasa secara pemikiran dan
perilaku. Sulit bagi ibu untuk tega melihat anaknya yang baru 12 tahun
harus mencari uang sendiri, atau misalkan harus mencuci baju sendiri.
Ayahlah yang bisa mengesampingkan emosinya dan melihat anaknya
kesusahan. Dengan kesulitan inilah anak akan tumbuh dewasa.
Ketika ayah tidak turun tangan mendewasakan anak, lahirlah remaja.
Generasi yang tidak bisa disebut anak-anak, tapi belum pantas dipanggil
dewasa.
Inilah 4 hal yang terjadi ketika ayah berlepas tangan dalam mendidik
anak. Keempat permasalahan ini seharusnya tidak terjadi jika ayah
mengambil tanggung jawab sepenuhnya dalam mendidik anak. Lalu jika
realitanya ayah sibuk mencari nafkah sampai-sampai kurang waktu bersama
anak, apa yang harus ayah lakukan? Apakah ayah harus meninggalkan
pekerjaannya? Tidak, karena yang anak butuhkan dari ayah bukanlah
kuantitas waktu, namun visi, perhatian, dan teladan. Seperti apakah visi
dan perhatian yang anak butuhkan? Itulah yang dibahas di Fatherhood
Forum II di bulan Februari 2015.
Share by ArdinmarL